Wawasan Keislaman Penghuni Hadramaut


Perkataan Hadramaut menurut prasasti penduduk asli Hadramaut adalah “panas membakar”, sesuai dengan pendapat Moler dalam bukunya Hadramaut, mengatakan bahwa Hadramaut sebenarnya berarti negeri yang panas membakar. Sebuah legenda yang dipercayai masyarakat Hadramaut bahwa negeri ini diberi nama Hadramaut karena dalam negeri tersebut terdapat sebuah pohon yang disebut al-Liban semacam pohon yang baunya menurut kepercayaan mereka sangat mematikan. Oleh karena itu, setiap orang yang datang (hadar) dan menciumnya akan mati (maut).

Makam Nabi Hud berada di Hadramaut. Nabi Hud merupakan salah satu nabi yang berbangsa Arab selain Nabi Saleh, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, yakni keturunan Aus bin Aran bin Sam bin Nuh. Mereka tinggal di Ahqaf yakni jalur pasir yang panjang berbelok-belok di Arab Selatan, dari Oman di Teluk Persia hingga Hadramaut dan Yaman di Pantai Selatan Laut Merah. Dahulu Hadramaut dikenal dengan Wadi Ahqaf, Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata bahwa al-Ahqaf adalah al-Khatib al-Ahmar.

Makam Nabi Hud ada di Hadramaut bagian Timur dan pada tanggal 11 Sya’ban banyak dikunjungi orang untuk berziarah ke makam tersebut dengan membaca tiga kali surah Yasin dan doa nisfu Sya’ban. Ziarah nabi Hud pertama kali dilakukan oleh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan setelah beliau wafat, ziarah tersebut dilakukan oleh anak keturunannya.

Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad semasa hidupnya menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah ke sana, bahkan beliau mewanti-wanti, “Barangsiapa berziarah ke (makam) Nabi Hud dan di sana ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ia akan mengalami tahun yang baik dan indah.” Menurut sebagian ulama kasyaf, makam Nabi Hud merupakan tempat penobatan para waliyullah.

Setibanya di syi’ib Nabi Hud (lembah antara dua bukit tempat pusara nabi Hud), Imam al-Haddad bertemu dengan beberapa orang sayyid dan waliyullah, sehingga pertemuan itu menjadi majlis pertukaran ilmu dan pandangan. Dalam bahasa Ibrani asal nama Hadramaut adalah ‘Hazar Maweth’ yang berdasarkan etimologi, rakyat mengaggapnya berhubungan dengan gagasan “hadirnya kematian” yaitu berkaitan dengan hadirnya Nabi Saleh as ke negeri itu, yang tidak lama kemudian meninggal dunia.

Di Hadramaut, tepatnya di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiyun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiyun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.

Munsib merupakan perluasan dari tugas ‘Naqib’ yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang ‘naqib’ adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim.

Dari waktu ke waktu tugas ‘naqib’ semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu ‘naqib’ jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas ‘naqib’ tersebut, maka terbentuklah ‘munsib’. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan.

Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala’ Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.

Keluarga golongan Sayid yang berada di Hadramaut adalah:

Aal-Ibrahim Al-Ustadz al-A’zhom Asadullah fi Ardih
Aal-Ismail Aal-Bin Ismail Al-A’yun
Aal-Albar Aal-Battah Aal-Albahar
Aal-Barakat Aal-Barum Aal-Basri
Aal-Babathinah Aal-Albaiti Aal-Babarik
Aal-Albaidh Al-Turobi Aal-Bajahdab
Jadid Al-Jaziroh Aal-Aljufri
Jamalullail Aal-Bin Jindan Al-Jannah
Aal-Junaid Aal-Aljunaid Achdhor Aal-Aljailani
Aal-Hamid Aal-Alhamid Aal-Alhabsyi
Aal-Alhaddad Aal-Bahasan Aal-Bahusein
Hamdun Hamidan Aal-Alhiyyid
Aal-Khirid Aal-Balahsyasy Aal-Khomur
Aal-Khaneiman Aal-Khuun Aal-Maula Khailah
Aal-Dahum Maula al-Dawilah Aal-Aldzahb
Aal-Aldzi’bu Aal-Baraqbah Aal-Ruchailah
Aal-Alrusy Aal-Alrausyan Aal-Alzahir
Aal-Alsaqqaf Al-Sakran Aal-Bin Semith
Aal-Bin Semithan Aal-Bin Sahal Aal-Assiri
Aal-Alsyatri Aal-Syabsabah Aal-Alsyili
Aal-Basyamilah Aal-Syanbal Aal-Syihabuddin
Al-Syahid Aal-Basyaiban Al-Syaibah
Aal-Syaikh Abi Bakar Aal-Bin Syaichon Shahib al-Hamra’
Shahib al-Huthoh Shahib al-Syubaikah Shahib al-Syi’ib
Shahib al-Amaim Shahib Qasam Shahib Mirbath
Shahib Maryamah Al-Shodiq Aal-Alshofi Alsaqqaf
Aal-Alshofi al-Jufri Aal-Basuroh Aal-Alshulaibiyah
Aal-Dhu’ayyif Aal-Thoha Aal-Al thohir
Aal-Ba’abud Al-Adeni Aal-Al atthas
Aal-Azhamat Khan Aal-Aqil Aal-Ba’aqil
Aal-Ba’alawi Aal-Ali lala Aal-Ba’umar
Aal-Auhaj Aal-Aydrus Aal-Aidid
Al-Ghozali Aal-Alghozali Aal-Alghusn
Aal-Alghumri Aal-Balghoits Aal-Alghaidhi
Aal-Fad’aq Aal-Bafaraj Al-Fardhi
Aal-Abu Futaim Al-Faqih al-Muqaddam Aal-Bafaqih
Aal-Faqih Aal-Bilfaqih Al-Qari’
Al-Qadhi Aal-Qadri Aal-Quthban
Aal-Alkaf Kuraikurah Aal-Kadad
Aal-Karisyah Aal-Mahjub Al-Muhdhar
Aal-Almuhdhar Aal-Mudhir Aal-Mudaihij
Abu Maryam Al-Musawa Aal-Almusawa
Aal-Almasilah Aal-Almasyhur Aal-Masyhur Marzaq
Aal-Musyayakh Aal-Muzhahhir Al-Maghrum
Aal-Almaqdi Al-Muqlaf Aal-Muqaibil
Aal-Maknun Aal-Almunawwar Al-Nahwi
Aal-Alnadhir Al-Nuqa’i Aal-Abu Numai
Al-Wara’ Aal-Alwahath Aal-Hadun
Aal-Alhadi Aal-Baharun Aal-Bin Harun
Aal-Hasyim Aal-Bahasyim Aal-Bin Hasyim
Aal-Alhaddar Aal-Alhinduan Aal-Huud
Aal-Bin Yahya

Keluarga Alawiyin di atas adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, sedangkan yang bukan dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, adalah:

Aal-Hasni Aal-Barakwan Aal-Anggawi
Aal-Jailani Aal-Maqrabi Aal-Bin Syuaib
Aal-Musa al-Kadzim Aal-Mahdali Aal-Balakhi
Aal-Qadiri Aal-Rifai Aal-Qudsi

Sedangkan yang tidak berada di Indonesia kurang lebih berjumlah 40 qabilah, diantaranya qabilah Abu Numai al-Hasni yaitu leluhur Almarhum Raja Husein (Yordania) dan sepupunya Almarhum Raja Faisal (mantan raja Iraq) dan qabilah al-Idrissi, yaitu leluhur mantan raja-raja di Tunisia dan Libya.

Akhlaq dan kebiasaan kaum Alawiyin.

Kaum Alawiyin tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama, hidup zuhud di dunia (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi) dan mereka juga menghindar dari popularitas (syuhrah). Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata:

” Syuhrah bukan adat kebiasaan kami, kaum Alawiyin … ”

selanjutnya beliau berkata:

” kedudukan kami para sayid Alawiyin tidak dikenal orang. Jadi tidak seperti yang ada pada beberapa wali selain mereka (kaum Alawiyin), yang umumnya mempunyai sifat-sifat berlainan dengan sifat-sifat tersebut. Sifat tersebut merupakan soal besar dalam bertaqarrub kepada Allah dan dalam memelihara keselamatan agama (kejernihan iman).”

Imam al-Haddad berkata pula: ” Dalam setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum Alawiyin, ada yang dzahir (dikenal) dan ada yang khamil (tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak, cukup hanya seorang saja dari mereka, sedangkan yang lainnya biarlah tidak dikenal. Dari satu keluarga dan dari satu negeri tidak perlu ada dua atau tiga orang wali yang dikenal. Soal al-sitru (menutup diri) berdasarkan dua hal:

Pertama, seorang wali menutup dirinya sendiri hingga ia sendiri tidak tahu bahwa dirinya adalah wali.

Kedua, wali yang menutup dirinya dari orang lain, yakni hanya dirinya sendiri yang mengetahui bahwa dirinya wali, tetapi ia menutup (merahasiakan) hal itu kepada orang lain. Orang lain tidak mengetahui sama sekali bahwa ia adalah wali.

Sehubungan dengan tidak tampaknya para wali, Habib Abdullah al-Haddad menulis syair: “Apakah mereka semua telah mati, apakah mereka semua telah musnah, ataukah mereka bersembunyi, karena semakin besarnya fitnah.”

Tidak tampaknya para wali merupakan hikmah Allah, begitu pula tampaknya para wali. Tampak atau tidak tampak, para wali bermanfaat bagi manusia.

Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ditanya: “Apakah manfaat dari ketidak tampakan para wali ?”. Beliau menjawab: “Tidak tampaknya para wali bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi wali itu sendiri. Sebab, sang wali dapat beristirahat dari manusia dan manusia tidak beradab buruk kepadanya. Mungkin kau meyakini kewalian seseorang, tetapi setelah melihatnya kau lalu berprasangka buruk. Seorang yang saleh bukanlah orang yang mengetahui kebenaran melalui kaum sholihin. Akan tetapi orang saleh adalah orang yang mengenal kaum sholihin melalui kebenaran.”

Sayid Ahmad bin Toha berkata kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, “Aku tidak tahu bagaimana para salaf kita mendapatkan wilayah (kasyaf), padahal usia mereka masih sangat muda. Adapun kita, kita telah menghabiskan sebagian besar umur kita, namun tidak pernah merasakan walau sedikitpun. Aku tidak mengetahui yang menyebabkan itu ?”.

Habib Ali lalu menjawab: ”Ketaatan dari orang yang makannya haram, seperti bangunan didirikan di atas gelombang. Karena ini dan juga karena berbagai sebab lain yang sangat banyak. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seseorang daripada bergaul dengan orang-orang jahat. Majlis kita saat ini menyenangkan dan membangkitkan semangatmu. Ruh-ruh mengembara di tempat ini sambil menikmati berbagai makanan hingga ruh-ruh itu menjadi kuat. Namun, sepuluh majlis lain kemudian mengotori hatimu dan merusak apa yang telah kau dapatkan. Engkau membangun, tapi seribu orang lain merusaknya. Apa manfaatnya membangun jika kemudian dirusak lagi ? kau ingin meningkat ke atas tapi orang lain menyeretmu ke bawah.”

Menurut ulama ahlul kasyaf, wali quthub adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Quthub biasa pula disebut Ghauts (penolong), dan termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan. Selain itu, ia dipandang sebagi pemegang jabatan khalifah lahir dan bathin. Wali quthub memimpin pertemuan para wali secara teratur, yang para anggotanya hadir tanpa ada hambatan ruang dan waktu. Mereka datang dari setiap penjuru dunia dalam sekejap mata, menembus gunung, hutan dan gurun.

Wali quthub dikelilingi oleh dua orang imam sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang autad (pilar-pilar) yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi. Masing-masing dari empat orang autad itu berdomisili di arah Timur, Barat, Utara dan Selatan dari Ka’bah. Selain itu, terdapat pula tiga orang nuqaba’, tujuh abrar, empat puluh wali abdal, tiga ratus akhyar dan empat ribu wali yang tersembunyi. Para wali adalah pengatur alam semesta, setiap malam autad mengelilingi seluruh alam semesta dan seandainya ada suatu tempat yang terlewatkan dari mata mereka, keesokkan harinya akan tampak ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka harus memberitahukan hal ini kepada wali quthub, agar ia dapat memperhatikan tempat yang tidak sempurna tadi dan dengan kewaliannya ketidaksempurnaan tadi akan hilang.

Seorang wali quthub, al-Muqaddam al-Tsani, Syaikh Abdurahman al-Saqqaf beliau terkenal di mana-mana, ia meniru cara hidup para leluhurnya (aslaf), baik dalam usahanya menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun dalam hal-hal yang lain. Dialah yang menurunkan beberapa Imam besar seperti Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu Bakar al-Sakran dan anaknya Syaikh Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Syaikh Abdullah bin Abu Bakar yang diberi julukan al-‘Aidrus.

Syaikh Abdurahman al-Saqqaf selalu berta’abbud di sebuah syi’ib pada setiap pertiga terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca Alquran hingga dua kali tamat dan setiap siang hari ia membacanya juga hingga dua kali tamat. Makin lama kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca Alquran empat kali tamat di siang hari dan empat kali tamat di malam hari. Ia hampir tak pernah tidur. Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata, “Bagaimana orang dapat tidur jika miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat neraka ?”. Selama satu bulan beliau beruzlah di syi’ib tempat pusara Nabi Hud, selama sebulan itu ia tidak makan kecuali segenggam (roti) terigu.

Demikianlah cara mereka bermujahadah dan juga cara mereka ber-istihlak ( mem-fana’-kan diri ) di jalan Allah SWT. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan Allah. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama manusia, para sayyid kaum ‘Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan agama Islam.

























DK

Post a Comment

Previous Post Next Post